Minggu, 04 Mei 2008

Rawan Pangan Nasional Belum Teratasi

Tuesday, 12 February 2008
Jakarta,(APIndonesia.Com). Terhitung sejak empat tahun terakhir, situasi rawan pangan nasional tak kunjung bisa teratasi sampai sekarang. Bahkan, angka perempuan dan balita penderita gizi buruk dan busung lapar yang berujung pada kematian semakin meningkat jumlahnya. Demikian ungkapan Gunawan, Direktur Progam Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) di Jakarta, Selasa, (12/2).

Gunawan melanjutkan selain di beberapa daerah muncul gejolak kenaikan harga akibat kelangkaan sejumlah bahan pangan. “Kondisi ini bukan hanya mengancam kehidupan masyarakat produsen dan konsumen, namun juga meresahkan sektor usaha kecil yang bergerak di bidang pangan,” ujarnya.

Menurut Gunawan hak atas pangan adalah hak yang paling asasi manusia. HAM adalah hukum internasional, di mana negara adalah subyek hukum yang berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM pada umumnya dan pada khususnya adalah tanggung jawab negara untuk menjamin hak atas pangan warga negaranya (Governments have a legal obligation to respect, protect and fulfil the right to food).

Demi menjamin ketersediaan pangan, pemerintah lebih memilih untuk menghapus bea masuk kedelai dan terigu yang berasal dari luar (impor) daripada memberi insentif kepada petani produsen pangan. “Untuk menjawab persoalan pangan, pemerintah harus menyelesaikan dari akar permasalahan. Perlindungan terhadap petani (produsen) tetap diabaikan, sementara pelaku kejahatan perdagangan seperti penimbunan 13.000 ton kedelai oleh PT. Cargil belum mendapat tindakan hukum” ujar Gunawan.

Bukti pengabaian terhadap produsen pangan dan pertanian nampak karena tiap tahun sekitar 120.000 ha lahan pertanian beralih fungsi, sementara kemampuan pemerintah untuk melakukan perluasan area pertanian hanya 30.000 ha. Di samping itu, struktur penguasaan tanah pertanian sudah menunjukkan keadaan yang sangat timpang.

Di sektor kelautan, menurut Gunawan mencontohkan, Nelayan-nelayan tradisional dibiarkan bertarung dengan kapal penangkap ikan modern yang melakukan illegal fishing. Selain itu, akses serta infrastruktur untuk nelayan lokal masih sangat minim.Tak ayal, para nelayan tersebut menjadi buruh migran adalah salah satu pilihan untuk mempertahankan hidup atas pengabaian ini, yang jumlah terus meningkat dari tahun ke tahun, di mana 75%nya adalah perempuan, dan 90% bekerja sebagai buruh rumah tangga. Ironisnya, kendati telah banyak menyumbangkan devisa bagi pendapatan nasional, namun kasus-kasus kekerasan tetap marak menimpa sejumlah TKI. “Buruh-buruh migran diperlakukan sewenang-wenang di negeri jiran dan tidak ada perlindungan sama sekali dari pemerintah” tuturnya.

Lembaga yang secara khusus ditugaskan untuk menangani persoalan pangan, yaitu Badan Ketahanan Pangan, dan Aliansi Nasional Melawan Kelaparan. Namun, hingga saat ini institusi-institusi tersebut tak sanggup mengatasi krisis pangan, gizi buruk serta busung lapar. Dan, cita-cita kedaulatan pangan pun semakin sulit terwujud. (Setyawan)

Tidak ada komentar: