Minggu, 04 November 2007

Penangkapan Sabar

Siaran Pers Bersama
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
Lembaga Studi dan Advokasi HAM Papua (ELSHAM Papua)

Kembali Orang Papua ditangkap namun tidak ditahan di Tanah Papua, melainkan di Jakarta. Kasus terbaru adalah penahanan Iwangin Sabar Olif, SH alias Sabar (42 tahun mantan relawan Elsham Papua, pekerja di PT Korindo, dan aktivis di Lembaga Pendidikan Hukum dan Demokrasi) di Mabes Polri.

Kasus Sabar seakan menunjukan adanya sesuatu yang extraordinary. Pertama, yaitu diperiksa dan ditahan di Mabes Polri. Kedua, dia ditangkap oleh pasukan gabungan yang terdiri dari Bareskrim Mabes Polri, Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri dan Bareskrim Polda Papua. Sabar dibawa ke Mabes Polri pada tanggal 26 Oktober 2007

Sabar ditangkap berdasarkan Laporan Polisi No. Pol: LP/94/X/2007/Dit Reskrim tertanggal 04 Oktober 2007, pasal-pasal yang dipergunakan adalah 160 KUHP (penghasutan) dan 134 KUHP (penghinaan kepala negara). Namun setelah diperiksa polisi, pasal yang dipergunakan hanya 160.

Tindak Pidana Penghasutan dan Penghinaan yang dimaksud adalah penyebarluasan SMS dengan bunyi :“Kabar baru berita Waspada Program SBY telah memerintahkan untuk membasmi orang Papua dan menguasai hasil bumi dan kekayaan alamnya” Cara yang dipakai untuk membasmikan orang Papua adalah meracuni makanan, sewa dokter, sewa warung makan, sewa ojek, sewa sopir serta ABRI”Sebarkan keseluruh masyarakat Papua tempo sebelum terlambat....Maya IPDN BNDUNG.” Dan Sabar menforward sms tersebut ke sejumlah saudaranya.

Penangkapan Sabar adalah janggal, karena pertama, Polisi justru tidak mengirim Marto Yuwei, orang yang menforward sms ke Sabar dan Maya IPDN Bandung, nama yang muncul dalam sms. Sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kedua nama tersebut diatas seharusnya diperiksa juga keterangannya. Yang kedua, isu peracunan makanan oleh pihak lain juga diedarkan meluas lewat electric mail maupun aksi massa, tetapi tidak ada tindakan hukum pada pihak tersebut. Padahal alasan Sabar dibawa ke Mabes Polri adalah kelengkapan laboratorium (kecanggihan alat), maka seharusnya pihak lain juga bisa segera diperiksa

Maka dengan ini kami menyatakan sikap:
1. Penangkapan Sabar adalah wujud pelanggaran Polisi atas kesamaan di muka hukum, karena polisi tidak memeriksa pihak lain yang turut menyebarkan isu peracunan makanan.

2. Penangkapan Sabar merupakan ancaman serius bagi para pembela HAM, untuk itu harus ada tindakan pro aktif dari Komnas HAM

3. Untuk membela Sabar kami telah membentuk Tim Advokasi Pejuang HAM Papua yang merupakan koalisi pengacara HAM di Jakarta dan di Papua

Jakarta, 30 Oktober 2007

Ecoline Situmorang (Ketua Komite Eksekutif IHCS)

Alloysius Renwarin (Direktur Elsham Papua)

Sidang Pleno I Undang-Undang Penanaman Modal

Persidangan uji materiil terhadap Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal di Mahkamah Konstitusi memasuki tahap sidang Pleno I dengan agenda mendengarkan tanggapan pemerintah atas permohonan judicial review oleh pemohon I dari Tim Advokasi Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Lawan Neo-Kolonialisme dan Imperialisme) yang dikoordinir oleh Ecoline Situmorang, S.H. (Ketua Komite Eksekutif IHCS/Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) dan Pemohon II dengan kuasa hukum dari YLBHI. Pada tanggal 26 Oktober 2007 lalu, kedua pemohon (Tim Advokasi Gerak Lawan dan YLBHI) bersama dengan pihak Pemerintah diundang oleh Mahkamah Konstitusi untuk membicarakan tentang penggabungan nomor perkara sekaligus juga tentang penyesuaian jadwal sidang Pleno I.


Penggabungan nomor perkara pengajuan uji materiil UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa pokok-pokok permohonan yang diajukan oleh pemohon I dengan nomor perkara: 21/PUU-V/2007 dan pemohon II dengan nomor Perkara 22/ PUU-V/2007 dianggap sama oleh Majelis Hakim Konstitusi, maka dilakukan penggabungan nomor perkara atas kedua permohonan uji materi tersebut.


Jadwal persidangan Pleno I pemeriksaan perkara nomor 21/PUU-V/2007 dan perkara nomor 22/PUU-V/2007 rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 6 November 2007 pukul 10.00 WIB dengan agenda persidangan mendengarkan tanggapan pemerintah dan DPR atas permohonan pengujian uji materiil (Judicial Review) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sekaligus juga akan dilakukan pemeriksaan ahli yang diajukan oleh para pemohon.


Terkait saksi ahli yang akan didengarkan keterangannya oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi adalah para saksi ahli yang telah diajukan oleh para pemohon I (Gerak Lawan) dan telah disetujui oleh Mahkamah Konstitusi yakni Revrisond Baswir (ahli Ekonomi Kerakyatan), Akhmad Shodiqi (ahli Hukum Agraria), dan Kwik Kian Gie (Ekonom dan ahli strategi pembangunan nasional), sementara Pemohon II mengajukan nama-nama Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi politik dan kejahatan korporasi), Hendri Saparini (direktur Econit dan pengamat kebijakan sektor UKM) , Salamuddin Daeng dan Sulastri R.


Seperti diketahui, pengajuan uji materi UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ini pertama kali diajukan pada tanggal 5 Juli 2007 lalu oleh aliansi GERAK LAWAN yang terdiri dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Federasi Serikat Buruh Jabotabek (FSBJ), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Suara Hak Asasi Manusia Indonesia (SHMI), dan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK).


Tim Advokasi Gerak Lawan adalah para advokat “Lawyer Committee for Human Rights” dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice.


Adapun alasan-alasan pokok diajukannya uji materi tersebut adalah bahwa dengan diberlakukannya UU Penanaman Modal ini, beragam “kemewahan” disediakan demi mengundang investasi. Kemewahan-kemewahan tersebut mulai dari insentif-insentif pelbagai bentuk pajak, pemberian ijin Hak Guna Usaha selama 95 tahun sekaligus, bebas memindahkan modalnya kapan dan dimanapun, hingga bebas dari masalah nasionalisasi. Sementara biaya eksternalitas penanaman modal selama ini, diantaranya ribuan konflik lahan, pelanggaran HAM dalam berbagai bentuknya, perusakan lingkungan dan pemiskinan akut yang selama ini terjadi, tidak sedikitpun dijadikan rujukan oleh pemerintah dan DPR RI dalam penyusunan Undang-undang Penanaman Modal ini.


Jakarta, 02 November 2007
Institute for Social Justice-IHCS